Antara Cinta dan Tanggung Jawab: Tantangan Ibu Bekerja dalam Perjalanan Menyusui
Menjadi ibu adalah anugerah yang tak ternilai, tetapi menjadi ibu bekerja adalah perjuangan dua kali lipat beratnya. Di satu sisi, terdapat tanggung jawab profesional yang memerlukan dedikasi dan komitmen. Di sisi lainnya, ada kasih sayang tanpa syarat dengan ikatan erat antara seorang ibu dan anaknya, salah satunya melalui proses menyusui. Bagi sebagian besar ibu bekerja, menyusui bukan hanya sekadar memberi makan, tapi juga bentuk komitmen untuk memberikan yang terbaik di tengah segala keterbatasan waktu, finansial, dan energi.
WORKING MOM
dr. Ervina Kimberly
5/8/20252 min read
Namun, di balik semangat tersebut, realitanya cukup sulit. Setelah kembali bekerja, banyak ibu bekerja menghadapi masalah yang sulit saat harus mempertahankan produksi ASI. Berbagai hambatan fisik, emosional, dan struktural muncul, sering kali membuat mereka merasa bersalah, lelah, bahkan ingin menyerah.
Tantangan Utama: Produksi ASI yang Menurun
Salah satu masalah paling sering terjadi adalah penurunan produksi ASI setelah ibu kembali bekerja. Penyebabnya sering kali terletak pada jadwal memompa yang tidak teratur, durasi sesi pompa atau menyusui yang terlalu pendek, serta stres terkait pekerjaan yang dapat mengganggu keseimbangan hormon.
Hormon prolaktin (yang merangsang produksi ASI) dan oksitosin (yang membantu refleks let-down) sangat dipengaruhi oleh suasana hati dan rasa tenang. Ketika ibu harus pumping di ruang kerja yang tidak nyaman, sambil mengejar deadline, atau khawatir ASI-nya tidak cukup, tubuh cenderung menghambat refleks pengeluaran ASI.
Masalah ini sering membuat ibu panik dan akhirnya mulai mencampur ASI dengan susu formula, atau bahkan berhenti menyusui lebih awal dari rencana semula. Padahal, dengan edukasi yang tepat dan dukungan yang memadai, kondisi ini sebetulnya dapat dicegah atau dikelola.
Fasilitas di Tempat Kerja: Antara Regulasi dan Realita
Secara hukum, di Indonesia sudah ada regulasi yang mengatur hak ibu menyusui, termasuk waktu dan ruang laktasi di tempat kerja. Namun, pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Banyak perusahaan yang belum menyediakan fasilitas menyusui yang memadai (seperti ruang yang terang, bersih, pribadi, serta dilengkapi dengan colokan listrik dan lemari pendingin untuk penyimpanan ASI).
Sebagian ibu terpaksa pumping di toilet, gudang, atau bahkan di balik meja kantor dengan perasaan waswas. Kondisi ini tidak hanya mempengaruhi kenyamanan tetapi juga kualitas dan higienitas ASI yang diperah.
Banyak atasan atau teman kerja yang masih belum menyadari betapa pentingnya waktu untuk memerah ASI. Ibu yang meninggalkan ruangan untuk melakukan pumping sering kali dianggap "menghilang" dari tanggung jawab, atau dipandang sebagai “tidak profesional.” Padahal, waktu pumping bisa disamakan dengan istirahat makan atau salat, yang seharusnya dihormati sebagai bagian dari hak dasar karyawan.
Tekanan Sosial dan Rasa Bersalah
Salah satu hal yang paling menyakitkan bagi ibu bekerja adalah rasa bersalah. Bersalah karena harus meninggalkan bayi di rumah. Bersalah karena produksi ASI menurun. Bersalah karena tidak bisa menyusui langsung sesering ibu rumah tangga.
Tekanan sosial pun tidak kalah menyumbang beban. Kampanye "ASI eksklusif 6 bulan" yang masif, sering kali tidak disertai dengan empati terhadap kondisi ibu bekerja. Mereka merasa dihakimi ketika memilih memberi campuran susu formula, meski keputusan itu diambil demi kesehatan mental dan keberlangsungan pekerjaan sang ibu.
Strategi Realistis untuk Ibu Bekerja
Walaupun penuh tantangan, menyusui bagi ibu bekerja bukan sesuatu yang mustahil. Berikut beberapa tips yang dapat membantu para ibu bekerja:
Persiapan ASI sejak masa cuti: Mulailah menyimpan ASI perah sejak bayi usia 2–3 minggu untuk stok saat ibu kembali bekerja. Persiapan peralatan pumping (jenis pump, ukuran flange, dan lainnya) juga sudah mulai disiapkan sejak masa cuti.
Jadwal pumping yang konsisten: Usahakan memerah ASI setiap 2–3 jam sekali selama jam kerja untuk meniru pola menyusu bayi.
Gunakan pompa yang efisien: Pilih pompa ASI elektrik ganda dengan daya hisap baik dan kenyamanan maksimal.
Komunikasi dengan atasan: Sampaikan kebutuhan pumping sejak awal. Berikan informasi edukatif bila perlu.
Bangun komunitas dukungan: Coba temukan sesama ibu menyusui di kantor atau online untuk berbagi cerita dan semangat.
Terima dan maafkan diri sendiri: Menyusui bukan lomba. Ibu bahagia adalah kunci bayi bahagia.
Mengapa Perusahaan Harus Peduli?
Mendukung ibu menyusui bukan hanya soal empati, tapi juga investasi. Perusahaan yang menyediakan ruang laktasi dan jadwal kerja fleksibel terbukti memiliki retensi karyawan perempuan yang lebih baik, produktivitas yang stabil, serta citra yang positif di mata publik.
Selain itu, bayi yang mendapatkan ASI lebih sehat dan jarang sakit, sehingga mengurangi absensi ibu karena harus mengambil cuti untuk merawat anak. Artinya, lingkungan kerja yang mendukung menyusui berdampak langsung pada produktivitas dunia kerja.
Penutup
Menyusui bagi wanita yang bekerja adalah wujud cinta yang tetap mengalir meski di tengah berbagai tantangan dan keterbatasan. Perjuangan ini seharusnya dihargai, bukan ditambah dengan ekspektasi atau penilaian yang tidak adil. Kita perlu menciptakan budaya kerja yang lebih ramah untuk para ibu, karena masa depan dimulai dari air susu ibu yang mengalir dengan dukungan banyak pihak, bukan dari pengorbanan sepihak.